Assalamualaikum...
Kita hidup di dunia ini seperti mampir (behenti sejenak) untuk minum seteguk dua teguk air, begitu perumpamaannnya. Kita adalah seorang pengembara yang menempuh perjalanan jauh, menempuh takdir dan kesejatian masing-masing. Seperti laiknya pengembara, dalam perjalanannya mereka membawa bekal. Ada yang sekedar untuk cukup makan dan minum. Namun tak kurang banyak pengembara menyia-nyiakan pengembaraannya dan teledor akan apa yang sesungguhnya ia cari.
Apa yang pengembara cari di dunia ini? Ada yang mencari impian masa kecilnya. Bayangan keindahan tempat lain. Keramahan penduduk tempat lain. Atau, sekedar pencarian diri sendiri, sebagai kontemplasi.
Al Ghazali pernah berkata, untuk menjadi seorang pemimpin yang tangguh setidaknya pernah mengembara. Karena apa, dengan pengembaraan itulah, diri kita dilatih menjadi mandiri, menjadi kuat, menjadi tabah dengan tempaan hidup yang keras, dan paling penting melatih hati agar lebih paham berbagai masalah hidup dari pengalaman dan kasus yang dijumpai selama pengembaraan.
Maka tak heran, dalam sejarah kenabian, banyak nabi menjadi penggembala yang mengembara mencari rumput-rumput hijau, yang bertemu dengan berbagai bangsa-bangsa di belahan bumi yang lain. Bahkan, Nabi Muhammad Saw (semoga shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada beliau beserta keluarga, sahabat dan umatnya sepanjang masa) di masa kecil beliau pernah mengembara bersama sang kakek. Di masa sebelum kenabian pun, beliau adalah seorang pengembara, yang berdagang dan berkenalan dengan barbagai suku di tempat lain. Dan peristiwa Isra’ Mi’raj pun hakikatnya adalah pengembaraan yang hakiki.
Bagaimana dengan kita? Tentu bukan hanya pengembaraan secara fisik saja yang dapat kita mengerti. Lebih penting adalah pengembaraan hati, agar senantiasa hijrah, hati yang selalu berevolusi, hati yang selalu mengevaluasi dirinya sendiri. Tak heran, pengembaraan adalah proses penempaan hati. Begitu pula pengembaraan dalam hidup ini. Maka, untuk menjadi manusia bijak, kita harus berfokus pada hakikat pengembaraan kita. Dan jangan lalu memusatkan diri kepada pencarian di tempat singgah sementara, di dunia. Padahal tugas kita di dunia hanyalah mencari minum dan mendapatkan bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan pengembaraan selanjutnya. Maka sungguh sesat orang yang sangat mencintai tempat hidupnya, sebab sungguh diyakini ia akan susah melanjutkan pengembaraannya.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al-Imraan 3:14)
Semoga kita semakin sadar di mana kita hidup.. Dan untuk Apa Kita Hidup..
Kita hidup di dunia ini seperti mampir (behenti sejenak) untuk minum seteguk dua teguk air, begitu perumpamaannnya. Kita adalah seorang pengembara yang menempuh perjalanan jauh, menempuh takdir dan kesejatian masing-masing. Seperti laiknya pengembara, dalam perjalanannya mereka membawa bekal. Ada yang sekedar untuk cukup makan dan minum. Namun tak kurang banyak pengembara menyia-nyiakan pengembaraannya dan teledor akan apa yang sesungguhnya ia cari.
Apa yang pengembara cari di dunia ini? Ada yang mencari impian masa kecilnya. Bayangan keindahan tempat lain. Keramahan penduduk tempat lain. Atau, sekedar pencarian diri sendiri, sebagai kontemplasi.
Al Ghazali pernah berkata, untuk menjadi seorang pemimpin yang tangguh setidaknya pernah mengembara. Karena apa, dengan pengembaraan itulah, diri kita dilatih menjadi mandiri, menjadi kuat, menjadi tabah dengan tempaan hidup yang keras, dan paling penting melatih hati agar lebih paham berbagai masalah hidup dari pengalaman dan kasus yang dijumpai selama pengembaraan.
Maka tak heran, dalam sejarah kenabian, banyak nabi menjadi penggembala yang mengembara mencari rumput-rumput hijau, yang bertemu dengan berbagai bangsa-bangsa di belahan bumi yang lain. Bahkan, Nabi Muhammad Saw (semoga shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada beliau beserta keluarga, sahabat dan umatnya sepanjang masa) di masa kecil beliau pernah mengembara bersama sang kakek. Di masa sebelum kenabian pun, beliau adalah seorang pengembara, yang berdagang dan berkenalan dengan barbagai suku di tempat lain. Dan peristiwa Isra’ Mi’raj pun hakikatnya adalah pengembaraan yang hakiki.
Bagaimana dengan kita? Tentu bukan hanya pengembaraan secara fisik saja yang dapat kita mengerti. Lebih penting adalah pengembaraan hati, agar senantiasa hijrah, hati yang selalu berevolusi, hati yang selalu mengevaluasi dirinya sendiri. Tak heran, pengembaraan adalah proses penempaan hati. Begitu pula pengembaraan dalam hidup ini. Maka, untuk menjadi manusia bijak, kita harus berfokus pada hakikat pengembaraan kita. Dan jangan lalu memusatkan diri kepada pencarian di tempat singgah sementara, di dunia. Padahal tugas kita di dunia hanyalah mencari minum dan mendapatkan bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan pengembaraan selanjutnya. Maka sungguh sesat orang yang sangat mencintai tempat hidupnya, sebab sungguh diyakini ia akan susah melanjutkan pengembaraannya.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al-Imraan 3:14)
Semoga kita semakin sadar di mana kita hidup.. Dan untuk Apa Kita Hidup..
ini dia yg kucari :D
ReplyDeletemakasih gan
Bagus sekali gan artikelnya
ReplyDeletevisit back yah http://pusat-sekolah.blogspot.com/
Dunia oh dunia, mengembara hingga akhir..
ReplyDeleteKunjungi juga ya http://theenglishcamp.blogspot.com