Peristiwa pembantaian ini telah membuat rekonsiliasi antara Gereja Katolik Ortodoks dan Romawi menjadi sesuatu yang mustahil. Penduduk keturunan Yunani di kota itu bahkan berpikir bahwa akan jauh lebih baik bagi kelangsungan hidup agama Kristen Ortodoks Yunani di kota itu apabila mereka diperintah oleh Sultan Muslim daripada menyerahkan diri di bawah kekuasaan Paus di Roma.
Perang saudara berkepanjangan dan konflik kepentingan di antara orang Kristen telah benar-benar melelahkan jiwa penduduk kota tersebut sehingga ketika Muslim Usmani akhirnya datang untuk mengambil alih kota, tidak banyak yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Yunani untuk melawan melainkan mereka dengan sukarela menerima ini penguasa asing yang baru ini.
B. Penaklukan Konstantinopel: Motivasi dari Keimanan
Pengepungan dan penaklukan kota Konstantinopel Bizantium bukanlah rencana yang datang secara tiba-tiba pada masa Kekhilafahan Usmani sebagai ambisi militer untuk ekspansi. Sesungguhnya inspirasi dan upaya untuk menaklukkan Konstantinopel sudah diungkapkan selama masa Nabi Muhammad saw.
Dalam situasi terburuk Perang al Ahzab, Nabi Muhammad saw. telah menubuatkan penaklukan ini oleh para pengikutnya yang diriwayatkan dalam hadits masyhur: “Sesungguhnya engkau akan menaklukkan kota Konstantinopel, maka pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” Hadits ini telah menginspirasi dan memotivasi para khalifah berikutnya dan tentara Islam setelah Nabi Muhammad saw. untuk memenangkan kehormatan dengan mewujudkan kabar gembira kenabian.
Sejarah mencatat beberapa upaya keras yang diupayakan oleh tentara Muslim awal untuk berbaris menuju kota Konstantinopel. Bani Umayyah memulai misi menuju ke kota Konstantinopel di awal-awal era Islam. Pada tanggal 1 September 653 M, Busr b. Abi Artat memimpin armada lengkap di Tripolis menuju kota Konstantinopel dan berhasil mengalahkan pasukan Yunani di Phoenix (Finika) di pantai Lisia, tetapi armadanya tidak benar-benar berhasil tiba di Konstantinopel, sementara pada waktu yang sama, Muawiyah memulai invasi wilayah Bizantium melalui operasi militer darat.
Upaya kedua diluncurkan oleh Abd al-rahman b. Khalid yang memimpin kampanye militer di tahun 44H/644M yang mencapai kota Pergamon, sedangkan Busr b. Abi Artat laksamana armada Umayyah berhasil mencapai Konstantinopel. Tahun setelah itu, pada 1 September 666M, Fadala b. Ubayd mencapai Chalcedon dan kemudian diikuti oleh Yazid bin Muawiyah, yang dikirim setelahnya. Pada 672M, armada Arab yang kuat di bawah kepemimpinan Busr b. Abi Artat berhasil melemparkan jangkar dari sisi pesisir Eropa Laut Marmara di bawah dinding kota dan menyerang dari bulan April sampai September. Setelah tujuh tahun pertempuran, armada tersebut pensiun dan kembali dengan banyak bagian yang terbakar oleh api Yunani.
Tentara darat dilaporkan telah berbaris didepan Konstantinopel pada 47H/667 M dan memulai pengepungan kota. Selama perang tersebut, seorang sahabat Nabi saw. yang terkenal, Abu Ayyub al Anshari Khalid b. Ziyad dilaporkan telah meninggal selama pengepungan dan dikuburkan disamping dinding Konstantinopel. Tahun pasti kematian tidak diketahui. Upaya penaklukan akhirnya berakhir dengan gencatan senjata selama 40 tahun antara Bizantium dan Bani Umayyah.
Pada 97H/715-16M, Khalifah Sulaiman b. Abd al-Malik naik takhta dan melanjutkan ekspedisi. Dia mengirim saudaranya Maslama untuk memimpin tentara melalui Asia Kecil, menyeberangi Dardanella di Abydos dan memulai pengepungan atas kota Konstantinopel. Armada Arab Muslim juga sebagian berlabuh di dekat dinding di pantai Laut Marmara dan sebagian lagi di Bosporus, sedangkan tanduk emas dilindungi oleh rantai raksasa. Pengepungan dimulai 25 Agustus 716 M dan berlangsung sepanjang tahun, tetapi akhirnya berakhir karena persediaan yang terbatas dan adanya serangan lainnya oleh bangsa Bulgaria.
Sebelum mengakhiri pengepungan dan membuat perjanjian damai, Maslama dilaporkan telah membangun masjid pertama di dalam kota Konstantinopel dan membuat bangunan rumah dekat Istana Kekaisaran Byzantium untuk tahanan perang dari pihak Muslim Arab. Hal ini telah disetujui sebagai syarat dari perjanjian damai.
Pada 165H/782M, di masa pemerintahan Abbasiyah, Harun, putra Khalifah al-Mahdi, dilaporkan telah bergerak melalui Asia Kecil dan kemudian mendirikan kemah-kemah mereka di Chrysopolis. Kekaisaran Bizantium di bawah Ratu Irene dengan cepat menawarkan kesepakatan damai dan setuju untuk membayar upeti. Al-Mahdi dan Harun telah meluncurkan tidak kurang dari empat pengepungan secara berkala terhadap Konstantinopel dan berhasil dalam upaya kedua untuk mendapatkan seperempat wilayah di kota tersebut.
Setelah catatan sejarah upaya Arab Muslim untuk menangkap Konstantinopel ini, tidak ada lagi upaya-upaya militer signifikan yang dilakukan untuk menyerang kota itu sekali lagi. Salah satu alasan yang mungkin menjelaskan kevakuman dari kampanye militer terhadap kota ini adalah dikarenakan dinasti Abbasiyah mulai disibukkan oleh masalah-masalah dalam negeri mereka dan perebutan kekuasaan di dalam istana.
Ini praktis membuat dinasti kekhliafahan tidak mampu mempertahankan beberapa wilayahnya yang diambil alih oleh pemberontak. Dengan demikian, tampaknya mustahil bagi Abbasiyah untuk memulai serangan baru.
0 Response to "Di Balik Jatuhnya Konstantinopel (3)"
Post a Comment